Selasa, 21 April 2020

MATERI KELAS VIII

Kelas VIII A (Jam ke 5&6) 

Kehidupan Masyarakat pada Masa Penjajahan Kolonial dan Jepang


Meskipun telah berkembang sebelum penjajahan, perkebunan di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Adanya penambahan jumlah lahan untuk mengembangkan berbagai tanaman ekspor. Pemerintah Kolonial juga melibatkan perusahaan asing untuk berinvestasi di Indonesia. Hutan dibuka untuk pembukaan lahan perkebunan.

Nah, yang namanya pembukaan lahan pasti harus diatur manusia dong. Nggak mungkin hutan ditebas, dijadikan lahan pertanian lalu nggak ada kehidupan di sekitar sana. Gara-gara Kolonial yang berfokus pada hal ini, mau nggak mau, penduduk kita jadi tersebar. Salah satunya, karena adanya perjanjian Politik Etis yang memberikan tiga keuntungan: 1) Irigasi, 2) Transmigrasi, dan 3) Edukasi.

Hutan-hutan di Sumatera Selatan, misalnya. Dibabat dan diubah kegunaannya. Sebagian ada yang menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Ada juga yang menjadi lahan irigasi yang digunakan di sepanjang alirannya dimanfaatkan sebagai lumbung padi.

Salah satu bekas peninggalan yang paling nyata adalah saluran air Bendung Komering 10 di Kabupaten OKU Timur. Sampai saat ini, masih dimanfaatkan dengan baik untuk lahan sekitar.

Selain concern terhadap perkebunan yang tinggi, Kolonial juga membangun berbagai infrastruktur seperti jalan raya, rel kereta, dan telepon.

Salah satu yang paling terkenal adalah Jalan Raya Pos.

Herman Willem Daendels adalah sosok di belakangnya.

Dia datang ke Batavia pada 5 Januari 1808. Sebagai Gubernur Jenderal, ia mendapat mandat untuk menjaga Hindia agar tidak jatuh ke tangan Inggris yang saat itu sedang berpusat di India. Demi menjalankan misinya tersebut, ia memutuskan untuk membuka jalan dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Situbondo, Jawa Timur).

Ya, jalan yang panjangnya lebih dari 1.000 km.

Tentu aja, proyek ambisius Daendels ini harus dibayar mahal oleh para pekerja dari kaum pribumi kala itu. Kaum pribumi, dalam artikel Sejarah Jalur Daendels: Semacam Jalan Tol di Era Hindia Belanda dikatakan “dipekerjakan secara paksa tanpa diberi upah.”

Bagi Daendels, jalan ini adalah mahakarya yang ia banggakan.

Saat ini, jalur ini biasa kita sebut dengan Pantura (pantai utara). Salah satu jalan sentral yang sering dilewati pemudik ketika lebaran. Walau begitu, dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (201), Jan Breman mengatakan kalau proyek jalan ini menelan belasan ribu korban jiwa.

Inilah ironisnya: di satu sisi, Daendels berjasa bagi pembangunan kita. Tapi di sisi lain, ia juga menelan banyak korban. Bayangkan coba kalau hal ini terjadi di masa sekarang? Sebagai sobat rebah, kita pasti ngamuk. Lagi enak-enak tiduran nonton Spongebob, eh disamperin emak. ‘Gali jalan lo sono! Tiduran aje?!’

Masa penjajahan kolonial juga merupakan masa di mana kita pertama kali menggunakan uang sebagai alat pembayaran tenaga kerja. Tapi, ya, dari segi strata sosial, rakyat kita jelas kalah jauh dibanding kaum kolonial yang datang. Pribumi yang sebelumnya birokrat harus tunduk kepada kompeni-kompeni ini. Para raja dan bupati, harus lengser karena sistemnya diubah. Kolonial lebih memilih gubernur jenderal, residen, bupati dalam sistem pemerintahannya. Sisi baiknya, kaum pribumi yang selama ini terkotak-kotak oleh kerajaan, kini mulai bersatu.

Kita, sedikit demi sedikit, disatukan dalam identitas bernama Indonesia.

 

separator - jepang

Meskipun sama-sama datang dengan tujuan menguasai Indonesia, Jepang terkenal lebih sadis dan brutal dibandingkan kolonial. Bayangkan, dari awal kedatangannya, Jepang menggunakan strategi licik: propaganda. Ia berpura-pura menjadi juru selamat bagi negara-negara di Asia. Slogannya adalah slogan 3A: Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia.

What? Gila nggak tuh?

Propaganda Jepang udah kayak cara kita ngecek duit asli. "Ingat tiga D! Dilihat, diraba, diterawang!" Terbayang masa-masa kelam itu. Ketika kaum pribumi mulai curiga dengan tingkah laku Jepang, mereka tinggal tutup mulut kita. ‘Ssst! Jangan banyak protes! Ingat 3A! Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia!’

Lalu kita gak jadi protes.

Perbedaan lain antara Kolonial dan Jepang adalah, Jepang sangat bernafsu untuk memasukkan budayanya ke kita. Tahu seikirei? Kebiasaan orang Jepang untuk membungkukkan badan. Rakyat kita dipaksa melakukannya demi menghormati kaisar Jepang (saat itu dijabat oleh Michinomiya Hirohito), yang dianggap keturunan Dewi Matahari. Untuk masalah bungkuk membungkuk ini aja, Jepang ketat banget. Kita diminta melakukan seikirei dengan sepenuh hati. Dalam Memoar Perempuan Revolusioner (2006:47), Fransisca mengatakan bahwa orang yang ketahuan membungkuk kurang dalam, akan ditampar.

Upaya pemasukan budaya Jepang memang sangat kental. Anak-anak sekolah harus menyanyikan Kimigayo, harus menghormati bendera Hinomaru, dan mendengarkan lagu-lagu AKB 48. Oke, yang terakhir bercanda.

Jepang juga mengeruk sumberdaya alam yang ada. Lahan-lahan perkebunan yang sebelumnya dibuat oleh Belanda, kini diganti menjadi lahan pertanian. Oke, mungkin kamu bertanya ‘Apa bedanya, Kak?’ Bedanya, pada masa Jepang, lahan pertanian dipakai untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari aja. Berbeda dengan Belanda yang bisa diekspor sehingga meningkatkan ekonomi masyarakat.

Perintah pembayaran pajak yang tinggi juga diterapkan oleh Jepang. Udah mah kita dipersulit dapet uang, eh malah “dipalak”. Alhasil, miskin lah kita cuy. Sampe-sampe banyak penduduk yang terpaksa mengenakan baju dari karung goni.

Untungnya, kita berhasil lepas dari cengkeraman Jepang yang terlihat baik di awal. 

26 komentar:

  1. Oke Bu terima kasih
    - Akbar 8a

    BalasHapus
  2. makasih bu, bhsa ny asik:v
    —bilqis 8a

    BalasHapus
  3. OK bu makasi
    - Nabila putri 8a -

    BalasHapus
  4. Makasii materiny bu
    —azzura8a

    BalasHapus
  5. Terima Kasih Bu Atas Materi YAng Di berikan
    -Ariel 8A

    BalasHapus
  6. Terima kasih bu materinya
    -vika 8A

    BalasHapus
  7. oke bu, terima kasih

    -dhiki 8a

    BalasHapus
  8. Oke Bu terima kasih
    -akbar 8a

    BalasHapus
  9. Terima kasih bu:)
    Mayviska Rudinawati 8A

    BalasHapus